Hari yang sangat memilukan. 2 minggu bersamanya sangat begitu melekatkan saya pada hasrat yang tak bisa di gambarkan. Perjalanan 1 minggu dari Bandung, Yogyakarta sampai Dieng tak bisa begitu saja hilang dalam memori saya.
Satu minggu setelah perjalanan dari Dieng saya bertemu lagi dengannya. Sungguh sangat membekas. Hanya diam, saling melempar senyum seperti orang asing yang baru saja kopi darat. saya mengiyakannya. Memang kopi darat. Jauh di dibalik kiasan itu tersimpan memori yang lebih indah dari kata yang tak bisa saya tulis.
3 hari setelah pertama kali saya bertemu dengannya lagi dia menemani saya membuat tato pertama di tangan kanan saya. Dan hari itu pula saya memutuskan mundur dari sebuah ikatan relationship bersama pacar saya. Ya, 4 bulan saja sudah cukup untuk saya mundur dari relationship yang tidak sehat. Rasa bersalah, takut dan selalu mengalah demi membuatnya senang rasanya sudah tak bisa dibendung untuk segera keluar dari hubungan yang bisa saya sebut palsu.
Hari itu setelah tato selesai saya dan dia berjalan kaki menuju sebuah taman. Beberapa teman sudah menunggu kehadiran kita khususnya dia. Telepon genggam saya selalu berbunyi. Saya tengok itu adalah mantan pacar saya yang meminta waktu hanya sebentar untuk menemui saya. Ah, lelah rasanya saya beradu argumen tentang apa yang saya inginkan. Dan dia pun tak akan pernah mengerti. Akhirnya saya mengalah kembali hanya untuk membuat dia senang. Ini untuk terakhir kali.
Dia yang sedang asik berbincang bersama temannya sesekali menengok ke arah saya. Wajah itu... selalu membuat saya tak berdaya. Dia menghampiri, menanyakan apa saya baik-baik saja? Saya menjawab tidak. Dan dia pun mulai memahami apa yang terjadi. Ya, persoalan dengan mantan pacar saya tidak pernah berhenti mengganggu ketenangan saya.
1 jam berselang saya bertemu dengan mantan pacar saya. Seperti biasa, saya selalu diam dan mendengarkan celotehan dia yang selalu memberikan saya hanya sedikit waktu untuk setidaknya membela diri. Nada tinggi mulai memecahkan suasana, saya tertunduk. "Saya hanya ingin kita pergi ke dokter untuk mengetahui kondisi kamu!", saya mengangguk. Tangan saya ditarik begitu keras lalu saya melepaskannya, terlalu sering sikap reaksioner itu membuat saya 'sakit'.
Dia yang masih berbincang bersama teman terlihat sangat santai. Saya kembali ke tempat dimana dia dan beberapa teman berada untuk mengambil jaket dan saya pamit pergi untuk beberapa jam. Saya tak sempat menengok wajahnya. Terlalu banyak emosi dalam otak saya sehingga saya tak berani memandang wajahnya.
"Kamu harus segera di operasi, itu jalan satu-satunnya yang bisa menyelamatkan hidup kamu. Tak ada satu obat pun yang bisa memberi reaksi positif untuk kamu." Dokter seakan tak mau saya lama-lama menunda operasi saya. Semakin lama jika dibiarkan kondisi badan saya akan semakin tidak baik. Air mata menetes, semakin menetes sampai akhirnya saya menangis. Mantan pacar saya hanya melihat saya menangis dan memegang tangan saya yang terbujur lemas. Saya melepaskan pegangan itu. Tak membantu apapun.
Saya kembali teringat pada wajah yang membuat saya tak berdaya, dan muncul wajah sosok ibu saya. Saya semakin menjadi. Sialnya ini terjadi ketika saya mulai mengagumi sosok dia. Bukan mantan pacar saya. Waktu terasa berhenti dan meninggalkan saya dalam keheningan.
I'm desperate!!
Waktu terus berjalan. Dia masih ada menemani hari-hari saya sebelum dia kembali bekerja ke kalimantan untuk mengakhiri masa cutinya. Telepon genggam saya tak juga luput berdering dari sang mantan. Saya sudah mengambil keputusan. Dan tetap akan seperti itu. Tidak akan berubah.
2 hari sebelum kepergiannya ke kalimantan saya sudah mengambil 1 langkah untuk bercerita tentang apa yang terjadi. Dan pasrah jika saya memang harus kehilangan dia dalam jangka waktu secepat ini. Orang yang selama ini selalu membuat saya tersenyum bahkan disaat saya jatuh sekalipun.
Saya bertemu dengan dia. Dalam beberapa menit ke menit saya terus memandangnya. Disaat dia berjalan, duduk, dan tersenyum. Saya tidak kuat untuk menahan air mata, saya belum mau melihat dia ini untuk yang terakhir kali. Saya takut tidak bisa merasakan sentuhan dia yang sangat menggairahkan di tubuh saya. Saya pun mulai urung menceritakan apa yang terjadi dengan saya.
Telepon genggam dia berbunyi di parkiran motor. Mantan pacar saya mengirimkan pesan padanya. Entah berisikan apa. Dan saya kembali menangis. Saya urungkan niat saya untuk membahas apa yang terjadi. Segera berlalu dari hadapan dia yang mulai bereaksi atas sikap saya. Kita sepakat untuk berpisah dari tempat itu.
Jalan dengan tergesa-gesa dan mulai menangis kembali. Saya berjalan menuju taman dimana saya dan dia pernah bersama. Segera saya mengetik pesan menceritakan tentang apa yang terjadi. Pesan terkirim. Berkesimpulan dia mungkin tidak bisa menerima saya lagi.
Telepon genggam saya berdering kembali. Kali ini dia yang mungkin sudah membaca pesan saya. Dan segera dia menghampiri saya di taman itu.
"Kamu ngeremehin saya banget ya. Kamu ngeremehin kadar sayang saya sama kamu. Saya kira kondisinya bakal lebih buruk dari ini. Dan saya sama sekali nggak niat cuma sampe disini saya bisa sama kamu. Saya terima kamu apa adanya!".
Kalimat itu yang membuat saya bertahan dalam kondisi ini.
Pagi ini saya pergi kerumah seorang teman dimana dia tinggal selama dia ada di Bandung. Terakhir kali melihatnya sebelum dia pergi pulang.
Wajah itu lagi-lagi mengganggu otak saya. Duduk dan dia menggenggam tangan saya.
"Kamu baik-baik ya. Tunggu saya 6 minggu aja, saya bakal kembali dan kamu bakal bisa operasi. Seengganya kamu istirahat dulu. Boleh bebas, asal jaga badan kamu dulu. Seenggaknya biar badan kamu sehat sampai operasi nanti. Nah, kalo kamu udah sembuh baru boleh ngapain aja. Kita jalan-jalan lagi ya."
Hari terberat dalam hidup saya bisa saya lewatin karena dia yang selalu ingetin saya betapa indah dunia ini disaat kita punya satu tujuan hidup yang emang bener-bener pengen dicapai.
Seengganya saya masih pengen ngeliat dia terus, ngeliat orang-orang yang saya sayang disekitar saya. Itu dulu aja harepan saya. Bisa terus survive. Saya pengen tujuan hidup saya bisa tercapai.
Terimakasih udah memberi harapan baru.
sampai berjumpa 6 minggu kemudian. Doakan yang terbaik buat saya.
2 komentar:
16 Desember 2010 pukul 17.35
:) sweet, just because I know who's the one this story for. are u still with him rite now?
3 Maret 2011 pukul 19.20
nope, but we still become a best friends :)
Posting Komentar